betul seperti tulisan bu megawati sukarnoputri di koran kompas beberapa waktu yang lalu. budaya beri-memberi, budaya kirim-mengirim makanan/bingkisan, memang sudah menjadi budaya indonesia sejak jaman dulu. budaya tukar makanan di hari raya sudah menjadi tradisi bangsa ini. sebenarnya nggak ada bedanya dengan pemberian parcel pada hari raya. karena mengirim rantang berisi makanan di hari raya ke tetangga2 bukan hanya untuk fakir miskin saja, tapi juga ke sesama bahkan ke pihak yg kaya juga di sekitar kampung. biasa aja kaleee...
jadi inget waktu aku masih sd di magetan. di magetan waktu itu ada tradisi setiap munggahan bulan ramadhan tiap-tiap rumah (saling) mengirimkan makanan ke tetangga2. bahkan ke tetangga yang lebih kaya pula. sudah biasa. namanya juga merayakan lebaran dan kiriman rantang/makanan itu sebagai wujud tanda kita untuk merayakan hari raya itu. tendensi untuk mendapatkan sesuatu setelah memberikan rantang/bingkisan makanan? jelas ada dong..., salah satunya adalah gengsi, dan males jadi bahan omongan kalo nggak ikut tradisi itu. kusus untuk aku sebagai yang disuruh mama untuk mengirimkan makanan ke tetangga, jelas aku mengharapkan angpau dari para tetangga yang aku kirimi makanan itu... huhui... bisa buat beli mainan... namanya juga anak kecil.
oh iya, tradisi kirim mengirim makanan di hari raya (idul fitri) itu namanya ater-ater (nganterin makanan ke tetangga-tetangga) dimana setiap rumah akan menyiapkan makanan lengkap (bisa di dalam kotak, besek maupun plastik) dan diberikan ke seantero kampung. tidak ada yang gengsi walo dia cuma rumah sederhana yang mengirimkan nasi secentong, sesuwir ayam, sejumput sambel goreng ati dan beberapa iris timun plus kerupuk. itu sudah menjadi kebanggaan rumah tersebut. bagi aku yang masih sd waktu itu, sangat senang pada saat kiriman tetangga yang kaya nyampe ke rumahku. dilihat dari kemasannya saja sudah beda. gede dan box nya berkesan mahal. hmm pasti enak deh isinya. dan benarlah apa yang aku bayangkan itu. nasi kuning, kering tempe, telor (utuh), dada ayam (utuh), dan asesorisnya. plus krupuk dan yg lebih menyenangkan aku sebagai anak-anak adalah, ada kue-kuenya!!! yummy...
yah begitulah bedanya kiriman orang kaya dan tidak kaya, tapi semua pede, semua menerima, walo si rumah orang kaya itu setelah menerima ater-ater dari rumah sederhana itu entah dikasih ke siapa, mungkin pembantunya, tapi semua diterima, nggak ada yang mubazir!
sejak kapan ada aturan kirim parcel itu harus dari si kaya ke si miskin? kalo mau sedekah ya sedekah aja jangan menunggu hari raya. jaman dulu, jaman kerajaan ada istilah upeti dimana diberikan dari rakyat ke pemimpin/raja sebagai persembahan. siapa yang lebih kaya? ya jelas raja lah. jika ada utusan datang dari negara lain, memberikan cinderamata (inget jaman bu tin dan pak harto kan?, sampe2 bu tin bikin musium untuk memajang cinderamata dari seluruh negara sahabat yang berkunjung dan dikunjungi). dikiranya cinderamata itu hanya seharga 250 ribu rupiah? ya nggak la yaw. harganya bisa ratusan juta rupiah bahkan miliar an. mubazir? ngak juga. harusnya disedekahkan? ini beda konteks. sekali lagi, kalo mo sedekah, ya kangsung aja sedekah, kalo mau kasih hadiah, beda lagi, ya kasih aja, tanpa melihat apakah orang yang kita kasih itu lebih kaya atau lebih miskin...
sekali lagi, budaya kita memang sudah mendarah daging, memberikan sesuatu ke orang lain sebagai cindera mata, hadiah, dan ungkapan ucapan selamat. kadang-kadang kita mo namu ke tetangga aja sampe bingung mo bawa oleh-oleh apa. tuh kan ada lagi pemberian yang, biasa aja gitu loh.
kenapa semua ini harus diatur-atur? apa salahnya kalo kita ngasih jaguar ke si A, karena kita mampu, beli jaguar selayaknya beli motor, so what gitu loh. dan lagi beebrapa waktu yang lalu ada berita bahwa miliarder di indonesia bertambah banyak sekian persen. emang dikira mereka gk kepengen bagi2 parcel? bagi mereka parcel seharga 1 M itu cincay lah, wong kekayaan mereka trilyunan.
please deh!
No comments:
Post a Comment